Ilustrasi ketegangan politik antara eksekutif daerah dan DPRD di depan gedung DPRD

Ketegangan Politik Eksekutif dan DPRD: Wajar atau Mengganggu?

Ditulis oleh Armando Sinaga • 13 September 2025

Ilustrasi ketegangan politik antara eksekutif daerah dan DPRD
Ketegangan eksekutif–DPRD: wajar sebagai kontrol, berbahaya bila berubah jadi penghambat.

Catatan Redaksi: Tulisan ini adalah opini penulis. Nama jabatan dan institusi disebut dalam konteks pandangan penulis serta kepentingan publik.

Ketegangan Eksekutif dan DPRD adalah fenomena yang hampir selalu hadir di pemerintahan daerah. Sebagian pihak menyebutnya wajar sebagai bagian dari checks and balances. Namun pada titik tertentu, ketegangan bisa berubah menjadi gangguan yang menghambat program, mengacaukan anggaran, dan menurunkan kepercayaan publik.

Kapan Ketegangan Dianggap Wajar?

Ketegangan wajar terjadi saat DPRD menjalankan fungsi pengawasan yang kritis dan berbasis data. Misalnya, ketika dewan menanyakan indikator kinerja, meminta evaluasi proyek, atau menyorot deviasi anggaran. Ketegangan seperti ini justru menyehatkan: kebijakan diuji, risiko disaring, dan publik mendapat transparansi.

Kapan Ketegangan Menjadi Mengganggu?

Ketegangan berubah menjadi penghambat ketika pengawasan tak bermuara pada solusi. Tanda-tandanya: rapat berulang tanpa output, permintaan fasilitas mengemuka saat legislasi seret, atau tarik-menarik politik yang memblokir program prioritas. Di fase ini, biaya sosial meningkat—pelayanan publik melambat, investasi menunggu, dan birokrasi gamang mengambil keputusan.

Peran Perda sebagai Rem dan Gas

Peraturan Daerah (Perda) adalah instrumen untuk menyalurkan ketegangan ke arah produktif. Ia menjadi “rem” bagi kebijakan yang berisiko sekaligus “gas” bagi program yang telah diuji manfaat dan hukumnya. Tanpa Perda, konflik mudah melebar karena tak ada rujukan yang disepakati bersama.

Pelajaran dari Sikap Tegas Kepala Daerah

Pernyataan tegas kepala daerah—seperti dalam opini Masinton Pasaribu Tidak Mau Kompromi—dapat menjadi pemantik agar DPRD kembali ke fungsi inti: menghasilkan regulasi. Kritik keras bukan anti-pengawasan; itu ajakan untuk mengubah kebisingan rapat menjadi produk legislasi yang berguna.

Kerangka Jalan Tengah: KPI Kolaboratif

  • Prolegda berbasis masalah: daftar Perda prioritas lahir dari isu nyata (perizinan, tata ruang, layanan dasar).
  • RDP berorientasi hasil: wajib ada issue brief, opsi kebijakan, dan keputusan tindak lanjut.
  • Timeline transparan: publik bisa melihat progres tiap draf Perda hingga pengesahan.
  • Evaluasi dampak: ukur efek Perda pada layanan, investasi, dan biaya kepatuhan.

Konsekuensi Jika Dibiarkan

Ketegangan yang tidak diatur akan menjadi gridlock: serapan anggaran rendah, proyek tertunda, dan kualitas layanan menurun. Pada akhirnya, warga menanggung biaya dari politik yang buntu.

Penutup

Ketegangan eksekutif–DPRD bisa menjadi vitamin atau racun. Ia menyehatkan bila diarahkan pada data, solusi, dan Perda yang kuat. Ia merusak bila terjebak pada seremonial dan bagi-bagi fasilitas. Jalan keluarnya sederhana tapi disiplin: fokus pada legislasi yang berdampak dan pengawasan yang menutup celah kebijakan.

Baca juga: Peran DPRD dalam Pembangunan Daerah dan Mengapa Perda Penting bagi Kepastian Hukum.

Terkait sikap tegas eksekutif: Masinton Pasaribu Tidak Mau Kompromi dengan DPRD.

Lihat opini lain di halaman Opini sawacana.com.

Penelusuran regulasi daerah: Peraturan BPK RI.

Tag: Ketegangan Eksekutif dan DPRD, DPRD Daerah, Peraturan Daerah, Checks and Balances, Opini Politik

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Keranjang Belanja