Masinton Pasaribu Tidak Mau Kompromi ke DPRD Daerah Jika Kerjanya Hanya Mengganggu

Masinton Pasaribu Tidak Mau Kompromi ke DPRD Daerah Jika Kerjanya Hanya Mengganggu

Ditulis oleh Armando Sinaga • 13 September 2025

Masinton Pasaribu tidak mau kompromi ke DPRD daerah jika kerjanya hanya mengganggu
Masinton Pasaribu menegaskan DPRD seharusnya fokus menghasilkan Perda—bukan sekadar RDP—sebagai payung hukum daerah.
  1. Beranda
  2. Opini
  3. Masinton Pasaribu & DPRD Daerah

Catatan Redaksi: Tulisan ini adalah opini penulis. Nama jabatan dan institusi disebut dalam konteks pandangan penulis serta kepentingan publik.

Masinton Pasaribu DPRD Daerah menjadi sorotan setelah pernyataan tegasnya: ia tidak akan berkompromi dengan DPRD daerah jika kinerja lembaga tersebut hanya mengganggu jalannya pemerintahan. Menurut Masinton, eksekutif harus berlari menuntaskan program—sementara DPRD wajib memastikan ada payung hukum yang jelas lewat Peraturan Daerah (Perda). Tanpa produk legislasi yang rapi, dinamika politik mudah berubah jadi kebisingan berkepanjangan.

DPRD dan Produk Utamanya: Perda sebagai Payung Hukum

DPRD memegang tiga fungsi: legislasi, anggaran, dan pengawasan. Di antara ketiganya, fungsi legislasi menjadi ukuran marwah lembaga. Produk akhirnya adalah Perda—setara “undang-undang” di tingkat lokal—yang memberi kepastian aturan, mengikat semua pihak, serta menjadi rujukan untuk menyusun anggaran dan mengawasi pelaksanaan program. Tanpa Perda yang kokoh, regulasi daerah pincang dan kebijakan mudah bergeser mengikuti selera politik sesaat.

Masinton menegaskan bahwa energi parlemen daerah tidak boleh habis pada forum pengawasan semata. Rapat Dengar Pendapat (RDP) penting, tetapi RDP hanyalah alat—bukan hasil. RDP idealnya bermuara pada rekomendasi terukur, naskah akademik, policy options, dan draf Perda yang bisa dievaluasi dampaknya.

Membuka Mata Publik: Aturan Daerah Ada Jika DPRD Bekerja

Di sinilah Masinton Pasaribu membuka mata publik: keberadaan aturan suatu daerah hanya nyata jika DPRD bekerja. Regulasi yang tertata memberi kepastian layanan, kepastian berusaha, hingga kepastian penegakan sanksi. Sebaliknya, jika aturan daerah tidak ditata dengan rapi, maka daerah itu akan amburadul: program mudah dibatalkan, proyek mandek di tengah jalan, dan konflik kewenangan muncul di banyak lini.

Dengan kata lain, kualitas pembangunan tidak hanya ditentukan oleh eksekutif yang eksekutif, tetapi juga oleh DPRD yang legislatif. Ketika DPRD produktif melahirkan Perda prioritas, jalur percepatan perizinan, investasi, dan pelayanan publik menjadi terang dan terukur.

Ketegasan Bukan Anti-Pengawasan

Pernyataan “tidak kompromi” sering dibaca sebagai anti-kritik. Padahal konteksnya adalah efektivitas. Pengawasan DPRD yang bermutu justru dibutuhkan: berbasis data, menyasar akar masalah, dan berujung pada perbaikan kebijakan—bukan sekadar memanggil dan membuat agenda rapat berulang. Ketegasan yang dimaksud adalah menolak pola kerja yang mengganggu tanpa memberikan solusi regulatif.

Isu Fasilitas & Tunjangan: Etika Berbasis Kinerja

Kritik lain menyentuh tuntutan fasilitas ketika output legislasi minim. Dalam etika pelayanan publik, insentif harus selaras dengan kinerja. Standar akuntabilitas yang sehat menempatkan fasilitas sebagai konsekuensi capaian—misalnya jumlah Perda prioritas yang disahkan, kualitas naskah akademik, partisipasi publik yang transparan, dan dampak regulasi terhadap kemudahan berusaha.

Jalan Tengah: KPI Legislasi yang Terukur

  • Prolegda realistis: tetapkan 5–7 Perda prioritas per tahun dengan timeline dan penanggung jawab jelas.
  • RDP berorientasi hasil: setiap RDP menghasilkan issue brief, opsi kebijakan, dan keputusan tindak lanjut (draf Perda atau revisi regulasi).
  • Transparansi progres: dashboard publik menampilkan tahapan—konsultasi, harmonisasi, hingga pengesahan.
  • Insentif berbasis output: fasilitas/tunjangan disejajarkan dengan indikator mutu legislasi, bukan frekuensi rapat.

Penutup: Mengembalikan Marwah Legislasi Daerah

Pernyataan Masinton Pasaribu mengingatkan bahwa DPRD ada bukan hanya untuk mengawasi, melainkan untuk membentuk Perda yang menjadi payung hukum. Ketika legislatif bekerja, eksekutif bergerak lebih cepat dan masyarakat mendapat manfaat konkret: layanan publik sederhana, investasi pasti, dan kepastian penegakan aturan. Jika sebaliknya—aturan tidak ditata—kita hanya memupuk kebisingan yang membuat daerah berjalan tanpa arah.

Baca juga opini terkait kebijakan fiskal di Pandangan ChatGPT terhadap Dana 200T yang Disuntik Menkeu ke Perbankan.

Selengkapnya opini lain di halaman Opini sawacana.com.

Referensi umum regulasi: Peraturan BPK RI – basis dokumen regulasi.

Tag: Masinton Pasaribu, DPRD Daerah, Opini Politik, Peraturan Daerah, Pemerintahan Daerah

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Keranjang Belanja