Masinton Pasaribu kembali menegaskan sikap politiknya yang tegas: tidak akan berkompromi dengan DPRD jika keberadaan lembaga tersebut hanya berfungsi sebagai pengganggu, bukan sebagai mitra pembangunan. Bagi Masinton, esensi DPRD ada pada produk legislasinya berupa Peraturan Daerah (Perda) yang menjadi payung hukum di tingkat lokal. Tanpa Perda yang jelas dan rapi, aturan di daerah akan berantakan, program mudah terbengkalai, dan masyarakat kehilangan kepastian arah kebijakan.
DPRD dan Fungsi Legislasi yang Terabaikan
DPRD memegang tiga fungsi utama: legislasi, anggaran, dan pengawasan. Di antara ketiganya, fungsi legislasi adalah jantung yang menentukan arah kebijakan daerah. Produk akhirnya adalah Peraturan Daerah (Perda)—sebuah payung hukum yang menata kewenangan, menetapkan standar layanan, serta memberi kepastian bagi warga dan pelaku usaha. Ketika legislasi melemah, daerah berjalan tanpa kompas: keputusan mudah berubah karena tidak bertumpu pada aturan yang jelas.
Membuka Mata Publik tentang Pentingnya Perda
Pernyataan tegas Masinton sejatinya mengajak publik melihat inti persoalan: keberadaan aturan daerah hanya nyata jika DPRD bekerja secara sungguh-sungguh melahirkan Perda yang berkualitas. Perda bukan sekadar dokumen administratif, melainkan instrumen kepastian—dari perizinan, tata ruang, hingga perlindungan sosial. Tanpa Perda yang ditata rapi, program mudah tersendat, birokrasi bingung mengambil sikap, dan masyarakat yang menanggung ketidakpastian.
RDP Itu Alat, Bukan Produk Akhir
Rapat Dengar Pendapat (RDP) sering dikira sebagai capaian. Padahal, RDP hanyalah alat untuk mengumpulkan fakta, menguji argumen, dan menampung aspirasi. Ia baru bernilai ketika ditindaklanjuti menjadi naskah akademik, opsi kebijakan, dan akhirnya draf Perda. Jika RDP berhenti pada panggilan berulang dan headline rapat, maka kinerja legislasi menjadi kosmetik semata—ramai di forum, nihil di produk.
Ketegasan Kepala Daerah: Bukan Anti-Pengawasan
Menolak kompromi terhadap pola kerja yang mengganggu bukan berarti anti-pengawasan. Pengawasan DPRD yang berbasis data dan berorientasi solusi justru dibutuhkan untuk menutup celah kebijakan. Ketegasan yang dimaksud adalah menolak kemacetan yang disebabkan agenda seremonial tanpa output. Kritik yang layak diprioritaskan ialah kritik yang mengarah pada perbaikan norma: revisi aturan, penyusunan prosedur, hingga lahirnya Perda baru.
Etika Fasilitas dan Tunjangan
Isu fasilitas DPRD selalu sensitif. Namun etika pelayanan publik menuntut korelasi antara insentif dan kinerja. Logikanya sederhana: semakin jelas dan berdampak produk legislatif yang dihasilkan—terukur melalui Perda prioritas—semakin kuat legitimasi fasilitas tersebut. Sebaliknya, menambah fasilitas di tengah minimnya keluaran kebijakan akan menggerus kepercayaan publik.
Jalan Tengah: KPI Legislasi dan Prolegda yang Terukur
- Prolegda realistis: 5–7 Perda prioritas per tahun dengan garis waktu, penanggung jawab, dan milestone yang terbuka untuk publik.
- Standar minimal RDP: setiap RDP wajib menghasilkan issue brief, opsi kebijakan, dan keputusan tindak lanjut (draf Perda atau revisi regulasi).
- Partisipasi bermakna: konsultasi publik yang terdokumentasi—bukan formalitas—agar Perda mengakar di kebutuhan warga dan pelaku usaha.
- Evaluasi dampak: setelah Perda disahkan, ukur dampaknya ke layanan, investasi, dan biaya kepatuhan (compliance cost).
Dampak Jika Aturan Tidak Ditata dengan Rapi
Ketika tata aturan diabaikan, konsekuensinya berantai. Program menjadi sporadis, belanja publik tidak fokus, dan penegakan sanksi timpang. Investor ragu karena risiko kebijakan sulit dihitung; warga bingung karena layanan berbeda-beda di tiap kantor. Inilah yang dimaksud “amburadul”—bukan sekadar gaduh politik, melainkan ketiadaan kepastian yang merugikan semua pihak.
Penutup: Kembalikan Marwah Legislasi Daerah
Saya mendukung sikap tegas yang mengembalikan DPRD ke rel utamanya: menciptakan Perda yang berkualitas. Pengawasan tetap penting, tetapi harus bermuara pada perbaikan norma, bukan sekadar panggilan rapat. Dengan legislasi yang kuat, eksekutif dapat berlari tanpa terantuk prosedur abu-abu; masyarakat mendapatkan kepastian; dunia usaha memperoleh arah. Ketika aturan rapi, daerah tidak hanya tertib—ia punya masa depan.
Baca juga opini terkait kebijakan fiskal di Pandangan ChatGPT terhadap Dana 200T yang Disuntik Menkeu ke Perbankan dan temukan opini lainnya di halaman Opini sawacana.com.
Rujukan umum regulasi daerah tersedia di Peraturan BPK RI untuk membantu penelusuran Perda dan dasar hukumnya.

